Jumat, 13 Maret 2009

puyer

KEUNTUNGAN PUYER :

    1. Memberikan pilihan obat yang lebih luas, terutama bagi anak-anak dimana jenisnya terbatas.
    2. Memungkinkan pemberian dosis yang tepat sesuai berat badan.
    3. Memungkinkan pemberian banyak obat sekaligus.
    4. Memungkinkan harga obat lebih terjangkau.

Dimasa lalu, obat anak-anak terbatas jumlahnya sehingga harus ”dimodifikasi” dari obat untuk dewasa dengan cara menggerus tablet sehingga didapatkan dosis yang sesuai untuk anak-anak. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya puyer.

Untuk daerah terpencil dimana obat untuk anak sulit didapatkan, kelihatannya cara ini memang masih diperlukan. Lain halnya untuk masyarakat yang tinggal di kota-kota besar, dimana akses terhadap obat bukanlah lagi suatu kendala.

Dengan cara menggerus beberapa macam obat sekaligus, bentuk puyer memungkinkan pemberian banyak obat kepada penderita dalam dosis sekali minum. Namun, perlu disadari pula, menurut beberapa guideline atau tatalaksana penyakit dari situs kesehatan terkemuka seperti WHO dan AAP, sebetulnya tidak banyak penyakit yang memerlukan beberapa macam obat sekaligus. Penyakit yang umum diderita anak, misalnya demam, batuk pilek, diare dan beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus lainnya, cukup diobati dengan parasetamol. Diare cukup ditangani dengan pemberian cairan rehidrasi oral atau oralit.

Keunggulan lain dari puyer adalah harganya yang terjangkau. Tentunya dengan catatan jika puyer dibuat dari obat generik.

KERUGIAN PUYER

    1. Menyalahi kaidah Good Manufacturing Practice.
    2. Off label use – bungkusan puyer tidak mencantumkan kandungan obat dan tanggal kadaluarsa.
    3. Kemungkinan tercemarnya obat dengan sisa obat lain yang tertinggal pada mortar.
    4. Kemungkinan terjadinya interaksi antar obat dalam satu resep puyer.
    5. Menimbulkan resiko terjadi polifarmasi dan dosis berlebihan.
    6. Pencampuran obat dalam puyer menyulitkan penelusuran reaksi alergi.
    7. Stabilitas obat tertentu dapat menurun dan toksisitas obat dapat meningkat bila bentuk aslinya digerus.
    8. Toksisitas obat dapat meningkatKemungkinan terjadi kerusakan obat akibat proses penggerusan.
    9. Efektivitas obat dapat berkurang karena sebagian obat menempel pada alat.

Di pabrik, obat telah melalui serangkaian proses yang memastikan keamanan dan kebersihannya. Obat dikemas dalam bungkus berstandar tertentu, mencantumkan tanggal produksi, kode batch dan tanggal kadaluarsa. Ini memungkinkan pabrik melakukan penelusuran bila dikemudian hari diketemukan masalah pada obat yang diproduksinya.

Bila obat-obatan tersebut dibuka dari bungkusnya dan digerus menjadi satu, kemudian dibungkus dalam kemasan kertas, akan ada beberapa data yang hilang, yaitu kandungan obat dan tanggal kadaluarsa. Selain itu, tentu ada alasannya mengapa pabrik obat harus memenuhi prosedur tertentu dan standar kebersihan tertentu. Inilah mengapa puyer dikatakan menyalahi kaidah Good Manufacturing Practice, ditambah tidak adanya jaminan bahwa campuran puyer adalah homogen, dan setiap bungkusan berisi jumlah dosis yang sama, mengingat pembagian obat ke dalam kertas pembungkus puyer dilakukan berdasarkan perkiraan semata dan tidak menggunakan timbangan akurat.

Puyer dibuat dengan cara menggerus obat dengan menggunakan alat yang disebut mortar. Ada kemungkinan obat tercemar dengan sisa obat lain yang tertinggal pada mortar. Apalagi tidak bisa dipastikan apakah apoteker atau asisten apoteker selalu mencuci mortar setiap selesai meracik satu resep.

Pencampuran beberapa obat yang digerus menjadi satu, memperbesar kemungkinan terjadi interaksi antar obat dalam satu resep puyer. Misalnya, jika parasetamol berinteraksi dengan diazepam atau luminal, akan menghasilkan metabolit yang membahayakan hati, khususnya pada anak yang organ tubuhnya belum berkembang sempurna. Hal ini juga bergantung pada pengetahuan dokter, padahal farmokologi tidak banyak diberikan di bangku kuliah, karena merupakan ilmu yang lebih banyak dipelajari oleh apoteker.

Puyer juga menimbulkan resiko terjadi polifarmasi dan dosis berlebih, misalnya jika dokter meresepkan merek obat yang berbeda dengan kandungan aktif yang sama. Lagi-lagi, hal ini tergantung dari pengetahuan dan ”kesetiaan” dokter pada guideline atau tatalaksana penyakit, yang seharusnya menjadi acuan para dokter untuk menangani pasien. Karena disatukan dalam bentuk puyer, pasien seringkali tidak sadar bahwa obat puyernya terdiri dari beberapa jenis obat. Padahal jika diberikan secara terpisah, pasien akan tergerak untuk bertanya kepada dokternya, apakah memang diperlukan jumlah obat sebanyak itu ?

Pencampuran obat juga menyulitkan dokter untuk menelusuri obat mana yang menyebabkan reaksi alergi pada pasien. Analoginya seperti menelusuri makanan mana yang menyebabkan alergi, akan lebih mudah dilakukan observasi jika kita memberikan satu jenis makanan baru pada satu satuan waktu.

Proses penggerusan juga beresiko menimbulkan kerusakan pada obat karena sifatnya. Stabilitas obat tertentu dapat menurun, misalnya bentuk tablet salut selaput (film coated) atau obat yang tidak stabil (misalnya asam klavunat) atau higroskopis (misalnya preparat yang mengandung enzim pencernaan). Sedang preparat lepas lambat bila digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya, sehingga toksisitas obat dapat meningkat.

Hal lain yang patut diperhatikan, obat dalam bentuk sediaan asli sudah melewati proses penelitian efektivitas kadar terapetik dalam darah. Sedangkan puyer, dengan kombinasi yang sangat bervariasi tergantung resepnya, tidak memungkinkan dilakukannya penelitian efektivitas ini. Belum lagi efektivitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada alat dan kertas pembungkus, terutama pada obat yang dibutuhkan dalam jumlah kecil seperti klorpromazin.

KEJADIAN TERKAIT PUYER & PANDANGAN TENTANG PUYER DI NEGARA LAIN

Pada tahun 2006, sebuah badan kesehatan di Taiwan, TRHF (Taiwan Health Care Reform Foundation) menggelar konferensi pers untuk mengangkat kejadian-kejadian fatal yang melibatkan puyer.

    1. Terjadi ketidaksengajaan pemberian obat dewasa untuk anak laki-laki berusia 5 tahun sehingga anak tersebut menerima 10x dosis seharus-nya. Akibatnya, ia menderita kerusakan liver yang serius.
    2. Puyer flu untuk gadis cilik berusia 6 tahun tercemar hormon yang tertinggal di mortar.
    3. Ketidaksengajaan tertumpahnya hypoglicemic ke dalam botol dispensi antihistamin. Ketika resep itu diberikan kepada 122 anak, menye-babkan kejadian fatal pada 11 pasien termasuk kematian seorang bayi berusia 9 bulan.

FDA (Food and Drug Administration), sebuah badan yang memberikan ijin untuk penggunakan obat di Amerika, mengakui bahwa adakalanya harus dilakukan modifikasi obat dari bentuk sediaan lain menjadi puyer. Tetapi, mereka menyatakan konsumen harus sadar bahwa “compounded drugs”, atau pencampuran obat yang digerus menjadi satu seperti yang lazim dipraktekkan pada peresepan puyer di Indonesia, tidak termasuk kategori obat yang mendapat persetujuan FDA karena belum diverifikasi keamanan dan efektivitasnya.

Tampaknya memang diperlukan pernyataan dan ketegasan dari badan yang berwenang serta perangkat hukum yang memadai untuk membatasi mana campuran obat yang aman serta efektif, mana yang tidak. Di Texas, sebuah apotik dituntut karena membuat ”compounding prescription drugs” yang tidak disetujui oleh FDA. Menurut hukum yang berlaku, apotik berlisensi secara legal memang dapat membuat obat sesuai kebutuhan pasien dengan menggabungkan, mencampur dan mengganti kandungan obat sesuai dengan resep yang dibuat dokter, namun campuran obat tersebut harus mendapat persetujuan dari FDA. Hal seperti ini yang belum diatur di Indonesia.

SEBAGAI KONSUMEN KESEHATAN, APA YANG DAPAT KITA LAKUKAN ?

Menyikapi kontroversi puyer, tak kurang dari pejabat IDI, IDAI dan Menkes menyampaikan pernyataan mereka dalam berbagai kesempatan. Intinya, puyer masih bisa dan aman dikonsumsi selama sesuai dengan aspek teknis dan kontentual yang dipersyaratkan. Ini berarti, peresepan puyer sangat tergantung dari keahlian dan pengetahuan dokter, sedang pembuatannya sangat tergantung dari pengetahuan dan kepatuhan apoteker terhadap syarat teknis. Mengingat farmakologi adalah bidang yang lebih dikuasai oleh apoteker ketimbang dokter, seharusnya apoteker dapat memberikan masukan kepada dokter apabila menemukan resiko interaksi obat atau dosis berlebih pada suatu resep.

Pasien tidak perlu ragu bertanya kepada dokter masing-masing, bila ada yang diragukan dari resep puyer yang diterimanya.

Ada baiknya pasien juga membekali diri dengan artikel-artikel kesehatan dari situs terpercaya, terutama berkaitan dengan guideline atau tatalaksana dari penyakit yang umum. Misalnya, penyakit ”langganan” yang sering terjadi pada anak, seperti demam, batuk pilek, diare dan muntah. Hal ini sangat penting, karena dengan mengetahui tatalaksana penyakit, kita dapat menilai apakah layanan kesehatan yang diberikan dokter (atau rumah sakit) sudah tepat dan sesuai dengan tatalaksana.

Bagi penyedia layanan kesehatan (dokter dan rumah sakit), hal ini juga menguntungkan dan memudahkan. Banyak pasien yang tidak puas jika berobat ke dokter tanpa mendapatkan obat, terutama pada pasien anak. Padahal, penyakit yang diderita si anak hanyalah batuk pilek, misalnya, yang sebetulnya tidak membutuhkan berbagai macam obat. Akibatnya dokter jadi terbebani untuk mengobati gejala yang timbul, dan melupakan kewajiban yang seharusnya dilakukan, yaitu mengedukasi pasien (atau orang tua pasien, dalam hal pasien anak) mengenai tatalaksana penyakit.

Hal ini sangat penting mengingat sebetulnya ada banyak kerugian yang disebabkan oleh penggunaan puyer. Dengan adanya kesadaran dari kedua belah pihak, baik pasien (sebagai konsumen kesehatan) dan dokter atau rumah sakit (sebagai produsen), maka kerugian-kerugian ini dapat dihindari.

Apakah tepat, misalnya, pepatah a pill for an ill? Apakah memang diperlukan satu obat untuk satu gejala ? Sayang sekali jika tujuan konsultasi ke dokter bila hanya ingin mengobati gejala, dan bukannya mencari penyebab penyakit ? Apakah edukasi terhadap konsumen kesehatan tidak mungkin untuk dilakukan, terutama pada pasien yang memiliki tingkat pendidikan yang cukup ?

Sayangnya, di Indonesia agak sulit ditemukan situs yang mencantumkan tatalaksana penyakit, terutama pada situs yang dimiliki oleh organisasi kesehatan di Indonesia, seperti IDI, IDAI, atau situs milik beberapa teaching hospital di Indonesia seperti RSCM atau RS Persahabatan.

Berhati-hatilah mencari informasi dari situs kesehatan yang mendasarkan diri pada opini atau pengetahuan pribadi seseorang yang kebetulan mempunyai titel di bidang kesehatan, tanpa mencantumkan sumber referensi. Atau, situs yang disponsori produsen kesehatan tertentu, yang memungkinkan adanya conflict of interest karena dilatarbelakangi oleh kepentingan produsen yang bersangkutan. Lebih baik mencari informasi tatalaksana penyakit dari situs yang mencantumkan referensinya dengan jelas, contohnya :
http://www.sehatgroup.web.id

Sebaliknya, di luar negeri, banyak sekali situs dari organisasi kesehatan terpercaya seperti WHO, AAP, CDC, atau situs milik teaching hospital di masing-masing negara, yang menyediakan informasi bagi orang tua. Di negara maju, tampaknya edukasi kepada konsumen kesehatan sangat dipentingkan, jadi dokter tidak hanya berkutat pada pengobatan gejala penyakit seperti yang lazim terjadi di Indonesia.

Hal yang terakhir ini penting juga untuk diketahui : jangan karena kita terpaku pada ketakutan mengkonsumsi puyer, lalu beralih kepada pengobatan herbal atau alternatif lainnya yang belum tentu aman dan efektif. FDA mengeluarkan daftar yang cukup lengkap mengenai obat-obat herbal (kebanyakan dari Cina) yang dinyatakan tidak aman untuk dikonsumsi terkait dengan kandungannya.

Mari jadikan diri kita sebagai konsumen kesehatan yang cerdas dan bijak.

Sumber :
1. Seminar “Puyer : Quo Vadis ?” tanggal 3 Mei 2008 di FKUI
2. http://www.thrf.org.tw/EN/Page_Show.asp?Page_ID=545
3. http://www.fda.gov/consumer/updates/compounding053107.html
4. http://www.ncahf.org/digest07/07-50.html
5. dan sumber lainnya